Alan Efhendi Bangun Desa Kelahiran dengan Lidah Buaya Menjadi Makanan dan Minuman
Sebelum bicara tentang Alan Efhendi yang termasuk petani milenial, aku juga ingin bicara sosok adik iparku yang ada di desa kelahiran kedua orangtuaku. Di desa Halimpu perbatasan Kuningan - Cirebon ini, jumlah petani muda/milenial bisa dihitung dengan jari. Karena sudah amat jarang.
Lahan pertanian yang dulu luas membentang kini diganti dengan bangunan perumahan. Sedih banget sih, masih ingat kenangan ku dulu sewaktu Sekolah Dasar. Kalau bangun pagi disana bicara saja keluar asap (seperti merokok) saking dinginnya. Mencari belut mudah sekali karena banyak sekali di sawah. Pernah juga ikut-ikutan memanen hasil sawah, kemudian ikut makan siang di gubuk yang ada ditengah sawah. Dan ketika musim tanam bisa dilihat banyak sekali kerbau yang ikut membajak tanah. Kenangan masa kecil yang tidak pernah terlupakan.
Tetapi kini pemandangan itu sudah tidak ada lagi, dan FYI adik iparku ini termasuk yang bertahan, adik dan kakak kandungnya memilih untuk hijrah ke tangerang atau Bekasi untuk menjadi karyawan pabrik ketimbang meneruskan sawah yang ada. Katanya “menjadi petani itu capek banget, harga pupuk mahal, kalau sudah panen banyak para tengkulak yang datang belum lagi bersaing dengan harga impor yang datang.. Jadi mendingan kerja di pabrik saja deh, aman terima gaji perbulan, beres gak mikir pupuk, tengkulak dan panen yang gagal”
Kadang ada benar juga sih, tapi aku salut sama orang yang bertahan dan punya keyakinan, jika pekerjaan yang serius dilakukan dan fokus pasti akan ada hasilnya. Buktinya adik iparku sampai sekarang masih bertahan, bisa bangun rumah, beli mobil, punya pelanggan tetap dari hasil panennya. Walaupun nih anak buahnya sekarang justru usianya diatas dia. Karena anak-anak muda memang sudah tidak ada yang mau jadi petani.
Begitu juga yang akan aku ceritakan di blog ini tentang Alan Efhendi yang membangun desa kelahirannya di kabupaten Gunungkidul lewat lidah buaya.
Seperti yang kita ketahui bahwa pohon Aloe vera (lidah buaya) banyak sekali manfaatnya. Ada beragam manfaat lidah buaya untuk kesehatan dan kecantikan, dan sudah sejak lama digunakan untuk mengatasi berbagai gangguan kesehatan, mulai dari penyakit kulit hingga sembelit.
Salah satu manfaat lidah buaya yang paling populer adalah dapat melembabkan kulit. Buktinya, banyak produk kecantikan yang menjadikan lidah buaya sebagai bahan alami untuk mengatasi kulit kering. Selain itu, masih banyak manfaat lidah buaya untuk kesehatan
Nah, aku pun kadang memakai lidah buaya untuk rambut, untuk mengurangi rontok dan sering juga beberapa kali juga gelnya aku pakaikan langsung ke wajah.
doc. Eddy EW
Budidaya Lidah Buaya Menjadi Panganan
Lainnya halnya nih, di daerah kabupaten Gunungkidul, tepatnya di desa Katongan disana ternyata banyak sekali penduduk yang menanam lidah buaya di halaman rumah mereka. Tetapi jenis berbeda dengan yang aku tanam. Lidah buaya lebih besar yang ditanam berjenis Aloe Chinensis Baker dan barbadensis Miller. Dua jenis lidah buaya ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan makanan, minuman, dan bahan kosmetik. Alan membeli bibitnya dari daerah Sidoarjo, Jawa Timur.
Yang kita tahu Pesona Gunungkidul memang tiada habisnya menyuguhkan kekayaan alamnya yang indah. Daerah ini pamor akan wisata alam pantainya, tak heran Gunungkidul dijuluki sebagai “Kota 1001 Pantai”. Tidak hanya itu, destinasi khas yang mengusung tema kemegahan goa juga mudah dijumpai di Gunungkidul. Namun destinasi wisata pantai, goa, alam yang indah ini hanya mudah dijumpai di jantung Gunungkidul dan pesisir Selatan saja.
doc, Alan Efhendi
Dan ini lah sosok inspiratif yang memulai budidaya lidah buaya yaitu Alan Efhendi, seorang pemuda dari dusun Jeruklegi, Desa Katongan, Kecamatan Nglipar, kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, adalah sosok inspiratif yang telah berperan aktif dalam sektor pertanian, khususnya dalam budidaya dan pengolahan aloe vera (lidah buaya). Dulunya merupakan seorang perantau di Jakarta. Sekitar 2014 kemudian balik ke kampung halamannya. Keinginan untuk kembali dan memajukan desanya dengan potensi yang dimiliki.
Meskipun awalnya tidak memiliki pengetahuan dasar tentang pertanian, Dia memulai mencari referensi dan panduan bertani dari buku, internet, dan berinteraksi dengan banyak orang untuk memahami cara terbaik dalam mengembangkan komunitas pertanian di Gunung Kidul, mengingat kondisi lingkungannya yang kering.
Saat masih di Jakarta Alan mencari referensi mengenai lidah buaya. Ternyata ada potensi besar dan ini yang membuatnya semakin tertarik. Kemudian Alan membeli bibit lidah buaya dan ditanamnya di kebun depan rumahnya. “Sebagian bibit yang saya beli tidak tumbuh, karena cuaca di Gunungkidul terlalu ekstrem terutama ketika kemarau panjang”.
Seiring waktu, Alan menemukan formula bagaimana supaya lidah buaya ini bisa tumbuh maksimal di Gunungkidul yaitu dengan media tanam pot atau polybag. Lidah buaya bagus di cuaca yang panas tapi tidak tahan ketika kekurangan air. Jadi jalan keluarnya harus ditanam di dalam pot. Lidah buaya ini cukup disiram dua hari sekali saja. Sejak bibit ditanam butuh waktu antara 10 sampai 12 bulan. Setelah itu mereka akan tumbuh terus.
Kemudian saat panen tiba Alan mengolah lidah buaya menjadi beberapa produk kuliner. Yaitu minuman yaitu minuman Rasane Vera Tekstur lidah buaya yang kenyal dipadukan dengan biji selasih dan gula batu membuat Rasane Vera dapat diterima baik oleh pasar. Ada juga kemasan Aloe nata, yang ternyata setelah diperkenalkan banyak sekali peminatnya. Hampir 300 cup aloe nata habis dipesan, oleh para pedagang dan konsumen langsung.
Selain itu, lidah buaya juga dijadikan aneka kudapan seperti permen, keripik, dodol, kembang goyang dan lainnya. Produk-produk tadi dapat ditemui di pusat oleh-oleh yang tersebar di D.I Yogyakarta dan Jawa Tengah daerah khusus petani lidah buaya. Dan semuanya ini Alan belajar dari internet.
doc, Alan Efhendi
Sampai sekarang lahan untuk lidah buaya milik Alan dan warga sekitar sudah mencapai tiga hektar lebih. Yang awalnya hanya Alan dan keluarga kemudian masyarakat sekitar juga turut bergabung bersama Alan menanam lidah buaya. Dan membentuk kelompok atau paguyuban Mount dengan anggota sekitar 100 orang, Kini usaha budidaya lidah buaya mampu mengantongi omzet penjualan hingga tembus Rp 30 juta setiap bulannya.
Tapi pengolahan khususnya makanan dan minuman sempat terkendala karena produk yang dihasilkan tidak mampu bertahan lama. Sebagai contoh, minuman kemasan lidah buaya hanya bertahan paling lama dua hari. Kondisi ini sangat merugikan karena barang harus laku kalau tidak ingin merugi.
doc, Alan Efhendi
Setelah melakukan inovasi dan pengembangan olahan lidah buaya agar tidak cepat basi tidak lepas dari penelitian yang dilakukan LIPI di Gunungkidul. Berkat penelitian yang dilakukan ada teknologi yang memungkinkan olahan bisa bertahan lebih lama. “Sekarang inovasi sudah diajarkan ke masyarakat dan mudah-mudahan bisa memberikan manfaat,”
Untuk pemasaran produk hasil olahan ini sudah dipasarkan ke wilayah Gunungkidul dan Kota Jogja. Tidak hanya itu tanaman lidah buaya ini sangat prospektif dan pada tahun 2018 kebun lidah buaya menjadi daya tarik wisata meski basisnya bukan destinasi wisata alam.
doc, Alan Efhendi
Produk-produknya telah mendapatkan sertifikasi dari BPOM dan telah melewati uji klinis. Produk ini juga memiliki potensi ekspor ke pasar internasional, seperti Amerika Serikat, yang dapat memberikan manfaat ekonomi yang signifikan bagi masyarakat Indonesia. Pemerintah daerah dan pusat telah memberikan dukungan yang signifikan kepada Alan Efhendi dalam upayanya untuk mengembangkan pertanian lidah buaya.
doc, Alan Efhendi
Menjadi Desa Wisata Edukasi karena Lidah Buaya
Seiring berjalannya waktu, budidaya lidah buaya yang digeluti Alan terus berkembang. Desa Katongan pun menjelma menjadi desa wisata dengan minat khusus tanaman lidah buaya. Para pengunjung, pelajar dan wisatawan dapat belajar praktik tanam lidah buaya, panen, hingga proses pembuatan minuman aloevera. Tak hanya itu, mereka juga bisa mencicipi langsung manis dan segarnya minuman aloe vera.
Kalau dibilang memang lokasi wisata edukasi lidah buaya ini tidak strategis berada dalam lingkungan pariwisata. Namun, di tempat ini para wisatawan akan mendapatkan edukasi seluk beluk tanaman lidah buaya hingga menjadikannya komoditas jual yang menjanjikan.
Kesegaran olahan lidah buaya ini cocok dengan kondisi terik Gunungkidul. Minuman instan seperti gelas, dan botol plastik. Selain itu, ada juga produk keripik lidah buaya, dodol, permen, hingga teh yang melengkapi aneka olahan lidah buaya.
Di tempat inilah para wisatawan akan dikenalkan usaha lidah buaya mulai dari hulu hingga hilir, dari proses pembibitan hingga proses pengolahan. Berbagai instansi hilir mudik datang ke desa wisata lidah buaya di Gunungkidul. Tidak jarang, pelajar hingga mahasiswa juga terjun untuk mengenal seluk beluk budidaya aloe vera.
doc, Alan Efhendi
Tidak berhenti sampai di sana, Alan yang berjiwa bisnis juga akan menjabarkan proses pemasaran olahan lidah buaya hingga menjadi komoditas yang menguntungkan. Selain itu ia juga telah punya agen distributor olahannya mulai dari Jakarta, Surabaya, Bogor, Semarang, dan Solo. Akhirnya sekitar 100 orang ibu-ibu terlibat dalam pengolahan lidah buaya. Mereka tergabung dalam Kelompok Wanita Tani (KWT) Vera Sejati
Cara merawatnya cukup mudah, di saat kemarau, lidah buaya hanya cukup disiram setiap 2 hari sekali. Daya tahan tumbuhan ini memang kuat, bak tanaman kaktus yang mampu bertahan dengan air yang sedikit.
Harga yang ditawarkan untuk edukasi lidah buaya sangatlah murah. Begitu juga dengan olahannya yang nyaman di kantong. Dengan Rp 2 ribu, kita bisa membawa segelas minuman segar. Keripik dijual seharga Rp 10 ribu per bungkus.
Dan juga hampir ada 7 instansi setiap bulannya yang berkunjung untuk mempelajari dan mengunjungi wisata edukasi lidah buaya, dari lokal disini, Jawa Tengah, hingga Jawa Timur.
Dulu kata Alan “Gunung Kidul terhitung tandus dan sulit ditanami tanaman. Tetapi saat ini di desa Katongan penuh dengan pohon lidah buaya tumbuh subur dan menjadi komoditas utama masyarakat setempat. Alan juga berharap adanya lebih banyak kolaborasi antara pemuda-pemudi Indonesia dalam membudidayakan lidah buaya, yang memiliki potensi besar untuk memberikan manfaat ekonomi dan sosial.
Alan Efhendi percaya bahwa pendidikan pertanian yang baik adalah kunci untuk mengubah persepsi masyarakat terhadap profesi ini. Dia berharap anak-anak dari usia dini akan lebih memahami bahwa bertani adalah sesuatu yang layak dan memiliki potensi besar untuk menghasilkan pendapatan yang signifikan. Melalui contoh nyata kesuksesannya, dia berusaha untuk menghilangkan stereotip bahwa pertanian identik dengan kemiskinan.
Tidak heran jika Alan Efhendi mendapat Apresiasi SATU Indonesia Awards di tahun 2021, dari PT Astra International Tbk. Butuh usaha yang gigih untuk mengubah mindset warga untuk menghidupkan tanah yang tandus menjadi lahan subur dan menghasilkan serta menghidupi dan menjadi nilai ekonomis tentunya.
Utieadnu
No comments
Post a Comment
Terima kasih sudah meninggalkan jejak di blog saya mudah-mudahan bermanfaat, Jangan tinggalkan Link URL BlogPost ya,,, makasih🙏