KBA Rawajati Geliat Kecil Kampung Peduli Sampah

KBA Rawajati Geliat Kecil Kampung Peduli Sampah di tengah Kota Jakarta
Memasuki daerah sejuk yang rimbun dengan pepohonan, pot-pot yang tertata rapi di teras-teras rumah, juga masih ada beberapa pohon-pohon besar dipinggir jalan. Jadi pemandangan yang sangat langka, yang bisa kita temui di rumah-rumah Jakarta. Terlebih di pemukiman padat penduduk. Selain itu juga yang paling mencolok adalah kantong sampah berwarna hijau. Kantong sampah itulah yang dijadikan warga sebagai tempat untuk menyetorkan sampah-sampah yang dapat didaur ulang di Bank Sampah KBA Rawajati.

KBA Rawajati Geliat Kecil Kampung Peduli Sampah

Pagi itu hari sabtu, saya berkunjung ke Kampung Berseri ASTRA (KBA) Rawajati, bau tanah bekas hujan semalam masih tercium sempurna. Paling suka dengan bau seperti ini. Angin sejuk membersamai langkah kaki menuju bank sampah yang terletak di ujung jalan RW 03 Rawajati. Dan hebatnya tidak ada bau sampah busuk disini.

KBA Rawajati geliat kecil kampung peduli sampah
doc pribadi

Yap inilah KBA Rawajati menjadi oase yang berada di tengah ibu kota Jakarta bisa menjadi contoh terbaik atas pengelolaan sampah rumahan menjadi nilai produktif.

Kalau bicara tentang sampah tentunya kita malu karena Indonesia menjadi urutan ke 2 penyumbang sampah plastik setelah Cina. Untuk itu sebenarnya kuncinya dalam pengelolaan sampah ada di kita semua mulai detik ini, sekarang dan untuk tujuan selamanya.

doc, pribadi

Kebetulan di bank sampah ini saya bertemu dengan Ibu Silvia Ermita bisa dibilang, sang pelopor untuk menyelamatkan bumi di KBA Rawajati Saya belajar banyak tentang kegigihan seorang perempuan bernama Ibu Silvia memulai ceritanya Sejak Februari 2015, RW 03, Kel. Rawajati diresmikan sebagai Kampung Berseri Astra.  Berkat kolaborasi dengan Astra, KBA Rawajati memiliki 4 pilar program unggulan yakni di bidang kesehatan, pendidikan, lingkungan, dan kewirausahaan.

KBA Rawajati geliat kecil kampung peduli sampah
Ibu Silvia Ermita

Bank Sampah Rawajati sebenarnya sudah ada sejak 2008. Kemudian pada 2012 barulah diresmikan sebagai Bank Sampah percontohan. Hingga tahun 2019, Bank Sampah Rawajati mempunyai 800 nasabah. Nasabah didominasi oleh ibu rumah tangga.

Kemudian mengatakan "Bahwa setiap bulan Bank Sampah Rawajati menerima kurang lebih 4,7 ton sampah rumah tangga: 3,2 ton sampah organik dan 1,5 ton sampah anorganik. Sampah biasanya diambil oleh pengangkut sampah ke rumah setiap nasabah. Terkadang juga disetor langsung oleh setiap nasabah. Kemudian sampah ditimbang. Hasilnya dicatat di buku tabungan masing-masing nasabah."

Berawal dari tahun 2002, memulai daur ulang sampah yang berada di lingkungan sekitar RW 03 ini. Langkah kecil ini terus berjalan sedikit demi sedikit, sampai pada tahun 2007 mendapat bantuan dari Dinas PU DKI Jakarta mesin pencacah sampah, mesin pengayak dan pembersih plastik. 

Dari gerakan kecil ini terus bergulir menjadi besar dan mendapatkan bantuan dari CSR Astra dan dijadikan kampung binaan dengan nama Kampung Berseri Astra Rawajati.

Saat memasuki komplek Bank Sampah Rawajati, akan terlihat mesin pencacah sampah organik di bagian depan Bank Sampah. Di sebelah mesin pencacah terdapat ruangan sampah anorganik seperti botol, kertas dan sampah lainnya yang ditumpuk untuk dipisahkan sesuai dengan jenisnya. Dan di sebelah sampah anorganik terdapat Kantor Pengelola Bank Sampah.

Kemudian ada juga Bpk Indra, yang sekarang juga aktif di KBA Rawajati menceritakan beberapa botol plastik yang laku di pasaran dari mulai memilih, kemudian memilih, merobek kain label, yang jadi persoalan ini label plastik dalam kemasan isi ulang ini tidak laku dijual dan ini masih menjadi pekerjaan rumah sebenarnya harus diapakan, "Biasanya kami membakarnya sih. Kalau tutup botol plastik ini masih laku. Pengepul besar ini datang setiap 2 minggu sekali ke KBA Rawajati, untuk mengambil botol-botol plastik yang telah kami pilah."

KBA Rawajati geliat kecil kampung peduli sampah
Bpk Indra

Harga kardus dipatok Rp 1.100/kg dan koran Rp 1.200/kg. Sedangkan botol plastik Rp 1.000 - 2.000/kg dan gelas plastik seharga Rp 2.000-3.000/kg. Tabungan sampah ini di kemudian hari bisa diambil dalam bentuk uang.

Setelah terkumpul, kemudian sampah dipilah. Sampah organik seperti dedaunan atau rumput diolah menjadi pupuk kompos. Lalu sampah anorganik seperti kardus, botol plastik, atau gelas plastik dijual ke pengepul besar. Kemudian sampah bungkus kopi disulap menjadi anyaman tikar. Sampah bungkus deterjen dikreasikan menjadi tas atau dompet. Adapun sampah dalam bentuk koran diubah menjadi vas bunga atau kotak tisu. Produk kerajinan tangan ini biasanya siap untuk dipasarkan atau dipamerkan dalam kegiatan yang diselenggarakan Astra atau pemerintah.

KBA Rawajati geliat kecil kampung peduli sampah


Mengolah Sampah Rumah Tangga 

Oh iya Bank Sampah pun sempat mati suri selamat satu tahun, karena memang ternyata tidak mudah untuk menumbuh kesadaran memilah sampah. Tetapi karena tidak putus asa terus saja memacu warga hingga pada akhirnya bank sampah ini normal kembali. Ada Ibu Ida dengan cekatan memberikan penjelasan sederhana bagaimana caranya mengolah sampah organik hingga menjadi kompos dengan bermodalkan tong sederhana.

Tong plastik yang digunakan untuk mengolah kompos itu ternyata dilubangi terlebih dahulu di seluruh bagiannya. Kemudian di bagian dasarnya dimasukkan styrofoam dan ditutup dengan karpet di bagian atas dan di bagian bawah. Ternyata ada cara singkat agar sampah bisa melalui proses pembusukan lebih cepat. Resepnya adalah dengan menambahkan EM4, sejenis bakteri yang bisa mempersingkat pengolahan sampah organik menjadi kompos dari waktu satu bulan menjadi satu minggu saja. Itu pun tetap harus rajin dibolak balik agar hasilnya juga maksimal.

KBA Rawajati geliat kecil kampung peduli sampah


Disini setiap warga pun di rumahnya wajib memiliki 4 buah biopori dirumahnya, salah satunya untuk membuang sampah basah rumah tangga masing-masing. Hingga nantinya bisa  menjadi kompos dan bisa digunakan untuk menyuburkan tanaman di rumah mereka. 

Cerita Ibu Ninik tentang daur ulang dari Koran Bekas

Di bidang kewirausahaan limbah sampah ini pun menjadi, produk yang bernilai. Awalnya mulai kami mengikuti latihan ada utusan dari Astra mengajar kami membuat vas bunga, kotak tisu, keranjang ternyata tidak sulit kok, ini hitung-hitung mengisi waktu luang kami, setelah masak di rumah selesai baru datang ke sini.

KBA Rawajati geliat kecil kampung peduli sampah


Sekilas kerajinan ini memang terlihat dari rotan ternyata semuanya dari koran bekas. Kemudian Ibu Ninik mengajarkan cara membuat vas bunga dari Koran bekas. Biasanya untuk membuat vas bunga ini bisa memakan waktu 5 - 7 hari, kalau tempat pensil mudah paling hanya 1 hari sudah selesai.

Koran bekas yang kita baca sebenarnya menimbulkan limbah yang begitu banyak apalagi apabila kita langganan koran. Pada saat ini biasanya koran bekas  hanya digunakan sebagai bungkus gorengan atau paling banter koran bekas tersebut dijual kepada pengepul untuk didaur ulang akan tetapi nilai jual koran bekas tersebut sangatlah murah paling berkisar antara 1000 s/d 1500 per kilo.

KBA Rawajati geliat kecil kampung peduli sampah

Dengan adanya Kerajinan dari Koran Bekas memiliki nilai ekonomis yang tinggi, koran bekas ini dapat dibentuk menjadi barang-barang yang memiliki manfaat lebih dan juga memiliki nilai ekonomis, diantaranya Vas bunga, Pigura/Frame foto, Tempat Pensil, Tempat Tisu dan masih banyak yang lainnya.

"Biasanya yang membeli itu yang datang berkunjung ke KBA rawajati atau kadang Astra kerap kali memfasilitasi ikut pameran di berbagai tempat, sehingga produk para pengurus bank sampah bisa laku terjual dan keuntungannya digunakan untuk operasional sehari-hari. Dari berbagai barang bekas, seperti koran dan plastik kita buat menjadi berbagai macam kerajinan, tikar, tempat sampah, vas bunga, yang dijual harganya bernilai berkali-kali lipat. Dari situ keuntungan buat operasional sehari-hari juga." Ujar Ibu Ninik.

KBA Rawajati geliat kecil kampung peduli sampah

Inilah beberapa contoh kecil yang bisa berdampak besar, yang dilakukan oleh KBA Rawajati. Dan dengan pendampingan Astra juga hingga KBA Rawajati mendapatkan penghargaan sebagai kampung Proklim dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). 

kba rawajati


Tentunya ini juga menjadi keberhasilan bagi KBA Rawajati dalam meningkatkan kualitas air dan juga kualitas udara segar. Saat ini, KBA Rawajati juga menjadi salah satu binaan Astra yang menjadi kampung percontohan penghijauan secara nasional. Melalui program Bank Sampah juga, KBA Rawajati turut membantu pemerintah dalam upaya mengurangi sampah sejak dari sumbernya.


Utieadnu






Gula Semut Semedo Akhmad Sobirin

Gula Semut Semedo Akhmad Sobirin, Meningkatkan Ekonomi Penderes Nira
Siapa yang sudah pernah ke daerah Banyumas?, Banyumas merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah dengan ibukota Purwokerto. Kabupaten yang terkenal dengan semboyannya Banyumas Satria ini mempunyai ciri khas yang identik dengan daerah-daerah lainnya.

Salah satunya Gunung Slamet yang merupakan ikon utama Kabupaten Banyumas. Gunung ini terletak di kawasan wisata Baturaden yang menjadi andalan wisata di Kabupaten Banyumas.

manisnya gula semut semedo akhmad sobirin
doc, semedo

Juga mendoan yang merupakan kuliner khas Banyumasan. Kuliner yang satu ini cukup banyak dikenal orang hingga keluar daerah Banyumas. Mendoan dianggap berasal dari istilah "mendo-mendo dipangan". Mendo artinya lembek. Mendoan ini dimasak setengah matang sehingga teksturnya masih lembek.

Juga pasti tahu maskot dari Banyumas ini yaitu Bawor (tokoh wayang yang bernama Bagong/Cepot), katanya tokoh Bawor ini Bawor memiliki 4 gambaran watak: sabar lan nrimo (apa adanya dalam kehidupan sehari-harinya), berjiwa ksatria (jujur, berkepribadian baik, toleran, suka membantu orang lain), cacutan (rajin dan cekatan) dan cablaka (lahir batinnya terbuka terhadap pertimbangan yang matang dari apa yang diucapkan secara spontan dengan bahan yang lugas). Gambaran watak ini dianggap sangat mewakili komunitas wong cilik di Banyumas.

Oh iya satu lagi tarian khas dari Banyumas salah satunya yang unik adalah ebeg. Ebeg adalah kuda lumping khas Banyumas. Pertunjukan ebeg ini diiringi oleh gamelan yang disebut bendhe. Ebeg ini merupakan bentuk kesenian tari daerah Banyumas yang menggunakan boneka kuda yang terbuat dari anyaman bambu dan kepalanya diberi ijuk sebagai rambutnya. Tarian ebeg disajikan dalam kelompok yang terdiri dari beberapa orang. Tariannya menggambarkan prajurit perang yang sedang menunggang kuda. Gerak tari menggambarkan kegagahan yang diperagakan oleh para pemainnya.

manisnya gula semut semedo akhmad sobirin
doc, Pameran di Menara ASTRA

Akhmad Sobirin Pemberdaya Gula Semut

Pastinya itu gambaran besar yang kita ketahui tentang Banyumas, tetapi Jauh disana ada desa terpencil yaitu Desa Semedo terletak di Kecamatan Pekuncen, Kabupaten Banyumas.

Deretan pohon kelapa tumbuh menjulang menjadi bagian lanskap Desa Semedo, Bunyi kersik dedaunan kelapa acapkali terdengar ditiup angin. Bagi masyarakat setempat, pohon kelapa menjadi sumber kehidupan sekaligus jati diri.

Saat pagi hari hawa sejuk kesunyian perbukitan lereng barat Gunung Slamet yang basah sehabis hujan semalaman. Pada sela-sela bukit dan lereng, kabut tipis mengalun perlahan berirama dengan kicauan burung yang memeriahkan.

Dari balik nuansa kehidupan Desa Semedo yang tenang dan syahdu, sesungguhnya masyarakatnya sudah bergiat menderes nira kelapa sejak sehabis subuh. Persepsi tentang kehidupan desa yang pelan, malas dan kurang produktif harus dibuang jauh-jauh di sini. Rutinitas pagi kehidupan masyarakat Semedo sudah diisi dari aktivitas memanjat batang pohon kelapa ke pohon kelapa lainnya.

manisnya gula semut semedo akhmad sobirin
doc, Semedo

Dan saban pagi dan sore hari, jadi potret keseharian di Desa Semedo para penderes nira meniti batang pohon kelapa setinggi 15 meter sampai 20 meter. Nira yang menetes dari manggar atau pangkal pelepah kelapa adalah hasil peluh keringat untuk menyambung hidup.

Desa Semedo tidak ada bedanya dengan desa-desa lain di Banyumas atau daerah-daerah lain di pulau Jawa. Tanah yang subur dengan pohon-pohon kelapa yang tumbuh tersebar di setiap pekarangan desa. Konturnya yang perbukitan juga membuat Semedo tidak ada bedanya dengan desa-desa lain di perbukitan.

Yang kontras menjadi pembeda adalah hadirnya sosok Akhmad Sobirin, sang putra desa yang mengalirkan semangat perubahan ke Semedo. Desa Semedo yang berlanggam tenang itu jadi bersemarak dengan bergeliatnya ekonomi desa berbasiskan gula semut. Pohon kelapa dan penderes nila yang menjadi jantung kehidupan Semedo diangkat ekonominya oleh Akhmad Sobirin.

Tempat pemrosesan gula semut berdiri di tengah perkampungan Semedo yang lengang. Bangunan berukuran sekitar 12 x 10 meter itu berada di samping rumah Sobirin. Daripada disebut sebagai pabrik, lebih tepat disebut sebagai rumah produksi gula semut. Bangunan pemrosesan gula semut ini didirikan untuk memperlancar pemasaran gula semut melalui CV Karya Muda Jaya, perusahaan miliknya.

Dulu, kehidupan ekonomi penyadap nira kelapa di Desa Semedo sempat terpuruk. Perubahan kesejahteraan mulai mengiringi ketika mereka bergerak dalam organisasi kelompok tani. Bahu membahu jadi prinsip bersama demi mengangkat harkat penyadap nira kelapa menjalani industri gula semut.

Akhmad Sobirin adalah anak muda asal Desa Semedo yang paling berperan dalam upaya mengubah kondisi industri gula kelapa di kampung halamannya. Usianya kini 34 tahun. Ia bagian dari proses panjang yang telah dilalui masyarakat setempat melakukan peralihan dari memproduksi gula merah cetak ke gula semut pada tahun 2012.

“Rumah produksi ini bisa menjadi sebuah tanda untuk memberi keyakinan masyarakat Semedo pada usaha produksi gula semut di desa.” ungkap Sobirin.

Gula semut dari ratusan petani yang tergabung pada Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Manggar Jaya diserahkan ke rumah produksi milik Sobirin. Petani-petani ini berasal dari Semedo dan beberapa desa sekitarnya seperti Karangkemiri, Petahunan, dan Kedungurang. Dari petani, biasanya standar gula semut bisa berbeda-beda seperti besar butiran, warna, hingga tingkat kadar air. Di rumah produksi ini, gula semut diproses lagi agar memenuhi standar ekspor.

Dengan cekatan, salah satu karyawan, memindahkan plastik-plastik gula semut kiriman petani ke loyang-loyang aluminium. Selanjutnya loyang ini dimasukkan dalam oven untuk dipanaskan pada suhu tertentu untuk mencapai tingkat kadar air 2% sesuai syarat ekspor. Tahapan selanjutnya gula semut masuk ke dalam mesin ayakan 18 mesh untuk menjadi butiran yang terstandarisasi. Di sudut lain ruangan, beberapa karyawan sedang cermat melakukan penyortiran untuk memastikan hanya butiran gula semut yang layak ekspor lah yang dikemas.

Selanjutnya, gula semut berkualitas itu dikemas dalam plastik curah. Ada juga gula semut yang dikemas dalam aluminium foil kedap udara bermerek “Semedo Manise”. Total ada 15 karyawan yang bekerja dalam pemrosesan gula semut.

Walau berada di desa, Sobirin menjelaskan bahwa kapasitas rumah produksi gula semutnya bisa mencapai 2,5 ton per hari. Besar kapasitas itu sanggup menyerap gula semut dari para petani yang menjadi binaannya. Dalam sebulan, produksi gula semut bisa dipasarkan sebanyak 20-30 ton.

Sebagian besar pemasaran gula semut berorientasi ekspor, yakni 98% ke Amerika Serikat dan sejumlah negara di Eropa. Pasar dalam negeri juga mulai meminati produk gula semut “Semedo Manise” yang dijual retail via online marketplace dan supermarket dalam varian berbagai rasa seperti original, jahe, sirsak dan lain-lain.

manisnya gula semut semedo akhmad sobirin
doc, semedo


Mengubah Produksi Gula Cetak ke Gula Semut

Namun perlu diketahui perjuangan Akhmad Sobirin, tidak semudah yang kita bayangkan, prosesnya pun cukup berjalan lama. Sekalipun, perubahan itu menjanjikan hasil yang lebih baik. Belum lagi, terdapat tatanan dan perangkat lama yang resisten terhadap aneka perubahan, yang dinilai bisa mengancam eksistensinya. Begitulah kondisi Semedo yang harus dihadapi Akhmad Sobirin ketika memutuskan pulang kampung setelah merantau dari kota.

Pada Februari 2012, Akhmad Sobirin pulang ke Semedo dengan predikat lulusan Sekolah Vokasi Teknik Mesin Universitas Gadjah Mada, pernah berusaha semasa kuliah, dan bekerja di beberapa perusahaan di Jakarta. Tekad kepulangannya ke Semedo tidak main-main. Diniatkan untuk menjalankan wirausaha dari desa sekaligus membangkitkan ekonomi masyarakat di desanya. Pada awalnya, dia memilih berwirausaha jamur tiram.

Tetapi tidak begitu berjalan, pada akhirnya ketika melihat lingkungan sekitar, dengan banyak pohon kelapa dan kegiatan penderes nira yang tidak putus-putus akhirnya dia mencoba untuk merubah produksi gula cetak untuk menjadi gula semut. Yang memang saat itu dia ingat beberapa cafe pernah menggunakan ini sebagai campuran kopi kekinian, dan juga pernah membaca ekspor gula semut yang cukup menjanjikan.

Tidak mudah awalnya meyakinkan setiap petani untuk mengubah kebiasaan dari produksi gula cetak ke gula semut. Ada yang ragu, ada yang resisten. Masalah kerepotan, kebersihan, dan larangan bahan pengawet adalah biang kendala warga enggan beralih ke gula semut. Belum lagi, cibiran dari warga yang menyangsikan keberhasilan usaha gula semut miliknya.

“Lha wong hasilnya saja belum jelas untuk bisa mensejahterakan diri sendiri, masak mau mensejahterakan orang lain.” Akhmad Sobirin ingat betul ucapan salah satu warga yang meremehkannya.

Untungnya, Akhmad Sobirin berhasil meyakinkan 25 warga Semedo untuk memproduksi gula semut. Pada 1 Juni 2012, Sobirin bersama warga Semedo yang tertarik pada gula semut ini mendirikan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Manggar Jaya. Pendirian kelompok tani ini menjadi tonggak penggalakan gula semut yang mampu memberdayakan masyarakat Semedo.

manisnya gula semut semedo akhmad sobirin
doc, semedo


Akhmad Sobirin meyakini pendirian kelompok tani adalah langkah mendasar agar petani gula semut tetap konsisten dan berkelanjutan. Selain untuk memudahkan koordinasi dan pembinaan, kelompok tani bisa menjadi jalan untuk memperkuat posisi tawar dalam dinamika masyarakat yang tercengkeram oleh kehadiran tengkulak. Selama puluhan tahun, masyarakat Semedo terbiasa dengan peran tengkulak gula cetak, sehingga tidak pernah terpikirkan mengaktifkan kelompok tani. Sampai ada pandangan kalau berkelompok hanya menjadi ajang kumpul-kumpul saja membahas hal yang tidak bermanfaat, yang menghabiskan waktu saja.

Keseriusan Akhmad Sobirin dalam menggarap gula semut di desanya mulai menampakkan hasil. Jumlah warga yang menjadi kelompok binaannya makin bertambah. Kemampuan warga Semedo menghasilkan gula semut juga makin meningkat. Dapur masak gula semut mulai dibenahi, baik dengan dana masing-masing warga maupun bantuan pemerintah melalui kelompok. Alat-alat produksi juga diganti dengan alat yang menerapkan kaidah higienitas dalam setiap proses.

manisnya gula semut semedo akhmad sobirin
doc, semedo


Pada akhirnya dia membentuk CV Karya Muda Jaya untuk menampung gula semut petani, memproses sesuai standar ekspor dan memasarkan gula semut Semedo. Rantai nilai (value chain) usaha yang makin stabil dinilai mampu memberikan jaminan bahwa produk gula semut Semedo bisa dipasarkan dengan baik. Masyarakat pun makin mantap memproduksi gula semut.

Akhmad Sobirin paham produk gula semutnya ini harus memenuhi persyaratan pasar yang berorientasi ekspor. Tidak hanya mementingkan kuantitas, kualitas juga menjadi hal penting bagi keberlanjutan usaha gula semut. Di pasar US dan Eropa, gula semut harus memenuhi persyaratan dan sertifikasi terkait organik, higienitas dan bebas dari eksploitasi kerja. Dia membina kelompoknya secara intensif agar bisa memenuhi persyaratan yang ditentukan. Juga menerapkan pengendalian mutu produk dalam setiap tahapan produksi gula semut, agar jangan sampai gula semut yang dihasilkan petani tidak lolos standar.

Gerakan kewirausahaannya selalu berpijak pada pemihakan kepada petani gula semut. Pernah suatu ketika, usaha gula semutnya rugi 7 ton karena sudah memasok tetapi sehari setelahnya harganya anjlok. Dia menanggung kerugian itu dengan merogoh kocek pribadi demi petani tetap yakin memproduksi gula semut. Dia juga selalu menekankan transparansi dalam usaha berbasis pemberdayaan masyarakat. Baginya, hal itu penting agar masyarakat tetap berkomitmen menjaga kualitas produk gula semut.

manisnya gula semut semedo akhmad sobirin
ASTRA


Pemberdayaan Penderes Nira

Desa kecil di Kabupaten Banyumas ini lambat laun telah mampu membuang label sebagai desa terpencil dan tertinggal menjadi wilayah organisasi penyadap nira yang inovatif. Kisah manis gula semut Desa Semedo tersiar dan mendapat apresiasi dari lembaga pemerintah maupun swasta. Akhmad Sobirin misalnya, sebagai penggerak mendapat apresiasi SATU Indonesia Awards 2016 di bidang kewirausahaan dari ASTRA. Dua tahun berselang, giliran Desa Semedo jadi bagian dari program pemberdayaan masyarakat bidang kewirausahaan bertajuk Kampung Berseri ASTRA.

Mengusung visi pemberdayaan, jaringan antar kelompok penyadap nira diperluas ke desa-desa lain di wilayah Kecamatan Pekuncen, Kabupaten Banyumas. Kini terjaring kurang lebih 400 penyadap nira. Mereka terbagi dalam 1 kelompok di Desa Petahunan dan 2 kelompok di Desa Karangkemiri.

“Pengelolaan kelompok tani saya serahkan ke pemuda setempat. Saya menekankan yang perlu didahulukan misi sosial bukan ekonomi,” kata Akhmad Sobirin.

Misi sosial ini memang jadi pegangan saat memulai membentuk kelompok tani penyadap nira. Latar belakangnya, hampir 80 persen dari seribu lebih laki-laki di Desa Semedo bekerja sebagai penyadap nira yang rentan alami kecelakaan kerja. Selain itu, seringkali keluarga penyadap nira terlilit utang pada tengkulak karena tak memiliki akses bantuan modal ketika merugi.

Salah satu tujuan pembentukan kelompok tani di konsep untuk pengelolaan penyisihan sebagian keuntungan bersih dari pemasaran gula semut, guna pembiayaan perlindungan jaminan kesehatan. Selain itu juga akses pembiayaan mikro, pembangunan sarana penjaminan mutu produksi, dan pembaruan bibit kelapa.

“Kami mulai melakukan percobaan penanaman bibit kelapa genjah yang hanya setinggi 5 meter. Sudah dilakukan penyebaran 1.500 bibit. Ini program jangka panjang mempertimbangkan kerentanan kecelakaan kerja dan melanjutkan regenerasi penyadap nira,” 

manisnya gula semut semedo akhmad sobirin
doc, kompas,com


Regenerasi dan Pemberdayaan Perempuan

Ancaman putusnya regenerasi penderes nira di Desa Semedo jadi kekhawatiran tentunya. Hampir rata-rata penyadap nira usianya tidak lagi muda. Dan Akhmad Sobirin tahu anak-anak muda di Desa Semedo tidak banyak yang memiliki keahlian meniti pohon kelapa untuk menyadap nira.

Rata-rata anak-anak muda juga enggan menanggung resiko alami kecelakaan kerja terjatuh dari pohon kelapa. Dan ini Solusi yang dipikirkan kelompok tani menanam pohon kelapa genjah yang pendek.

Pengolahan gula semut di Desa Semedo mesti dipertahankan karena membuat warga desa jadi mandiri secara ekonomi. Selain itu, gula semut memastikan kesejahteraan bisa didapat di kampung sendiri. Banyak para petani menyatakan dari hasil penjualan gula semut, hidupnya kini lebih dari cukup.

Dari 33 pohon kelapa, pendera nira minimal 40 liter sampai 50 liter per hari. Setelah diolah hasil sadapan jadi 6 kilo gram sampai 8 kilo gram gula semut. Menjualnya ke Poktan Manggar Jaya, Maka bisa mengantongi uang di atas Rp 100 ribu per hari.

“Dulu saat masih gula cetak memang susah. 1 kilo gram harganya Rp 5 ribu. Sekarang 1 kilo gram gula semut harganya Rp 17 ribu - Rp 20 ribu.

Selain mengorganisasikan penderes nira, Poktan Manggar Jaya juga mengorganisasikan produk gula semut. Mereka jadi pembeli pertama gula semut hasil olahan penyadap nira. Pengembangan kualitas kontrol diterapkan di rumah produksi. Gula semut dari penyadap nira lantas disortir oleh tim penjaminan mutu.

Salah satu karyawan Sobirin yaitu Rohyati, salah satu tim penjaminan mutu di Poktan Manggar Jaya. Usianya 42 tahun. dia bergabung sejak tahun 2015. Timnya memastikan standar gula semut dari Desa Semedo sesuai standar mutu yang disyaratkan konsumen. Tugas mereka melakukan pengeringan dan pengayakan 18 mesh.

“Kapasitas produksi saat ini 24 ton per bulan. Permintaan untuk ekspor sebenarnya lebih besar. Tapi yang terpenting kami mempertahankan kualitas yang baik,” kata Rohyati.

Rohyati menekankan, pengembangan industri gula semut di Desa Semedo telah membuka lapangan kerja pada perempuan. Di rumah produksi terberdayakan 8 sampai 9 perempuan sebagai tenaga kerja. Tugas mereka melakukan pengovenan, penyortiran dan pengepakan. Kerja mereka juga dilengkapi alat produksi berbahan stainless steel food grade untuk memastikan higienitas produk terjaga.

Dinas pertanian dan Ketahanan Pangan (Dinpertan KP) Kabupaten Banyumas, menilai Poktan Manggar Jaya Desa Semedo merupakan salah satu penyumbang terbesar ekspor gula semut dari Banyumas, di tahun 2018 mencapai 7.000 ton sampai 8.000 ton. Kurang lebih 25 persen ekspor gula semut berasal dari Kecamatan Pekuncen yang diinisiasi oleh Poktan Manggar Jaya dari beberapa kelompok tani.

manisnya gula semut semedo akhmad sobirin
doc, semedo


Untuk mendukung pemberdayaan penyadap nira di Poktan Manggar Jaya Desa Semedo, di tahun 2019 pemerintah pusat telah membangun Unit Pengolahan Hasil (UPH). Tujuannya untuk mendukung kemudahan pengemasan serta daya simpan lebih lama sehingga menunjang proses pemasaran ke luar negeri.

Pada akhirnya dari Desa Semedo, gerakan pemberdayaan penyadap nira yang dilakoni Akhmad Sobirin adalah kisah manis tentang kesabaran pendampingan masyarakat. Akhmad Sobirin dan Poktan Manggar Jaya adalah meningkatka ekonomi penderes nira. Industri gua semut yang mereka prakarsai telah menggerakkan warga setempat mendapatkan jati diri, berdaulat di desa, mandiri secara ekonomi dengan memanfaatkan potensi kekayaan alam lingkungannya.


Utieadnu







Alan Efhendi Bangun Desa Kelahiran dengan Lidah Buaya

Alan Efhendi Bangun Desa Kelahiran dengan Lidah Buaya Menjadi Makanan dan Minuman

Sebelum bicara tentang Alan Efhendi yang termasuk petani milenial, aku juga ingin bicara sosok adik iparku yang ada di desa kelahiran kedua orangtuaku. Di desa Halimpu perbatasan Kuningan - Cirebon ini, jumlah petani muda/milenial bisa dihitung dengan jari. Karena sudah amat jarang.


Lahan pertanian yang dulu luas membentang kini diganti dengan bangunan perumahan. Sedih banget sih, masih ingat kenangan ku dulu sewaktu Sekolah Dasar. Kalau  bangun pagi disana bicara saja keluar asap (seperti merokok) saking dinginnya. Mencari belut mudah sekali karena banyak sekali di sawah. Pernah juga ikut-ikutan memanen hasil sawah, kemudian ikut makan siang di gubuk yang ada ditengah sawah. Dan ketika musim tanam bisa dilihat banyak sekali kerbau yang ikut membajak tanah. Kenangan masa kecil yang tidak pernah terlupakan.


alan efendi bangun desa kelahiran dengan lidah buaya
pixabay


Tetapi kini pemandangan itu sudah tidak ada lagi, dan FYI adik iparku ini termasuk yang bertahan, adik dan kakak kandungnya memilih untuk hijrah ke tangerang atau Bekasi untuk menjadi karyawan pabrik ketimbang meneruskan sawah yang ada. Katanya “menjadi petani itu capek banget, harga pupuk mahal, kalau sudah panen banyak para tengkulak yang datang belum lagi bersaing dengan harga impor yang datang.. Jadi mendingan kerja di pabrik saja deh, aman terima gaji perbulan, beres gak mikir pupuk, tengkulak dan panen yang gagal”


Kadang ada benar juga sih, tapi aku salut sama orang yang bertahan dan punya keyakinan, jika pekerjaan yang serius dilakukan dan fokus pasti akan ada hasilnya.  Buktinya adik iparku sampai sekarang masih bertahan, bisa bangun rumah, beli mobil, punya pelanggan tetap dari hasil panennya. Walaupun nih anak buahnya sekarang justru usianya diatas dia. Karena anak-anak muda memang sudah tidak ada yang mau jadi petani.


Begitu juga yang akan aku ceritakan di blog ini tentang Alan Efhendi yang membangun desa kelahirannya di kabupaten Gunungkidul  lewat lidah buaya.


Seperti yang kita ketahui bahwa pohon Aloe vera (lidah buaya) banyak sekali manfaatnya. Ada beragam manfaat lidah buaya untuk kesehatan dan kecantikan, dan sudah sejak lama digunakan untuk mengatasi berbagai gangguan kesehatan, mulai dari penyakit kulit hingga sembelit.


Salah satu manfaat lidah buaya yang paling populer adalah dapat melembabkan kulit. Buktinya, banyak produk kecantikan yang menjadikan lidah buaya sebagai bahan alami untuk mengatasi kulit kering. Selain itu, masih banyak manfaat lidah buaya untuk kesehatan


Nah, aku pun kadang memakai lidah buaya untuk rambut, untuk mengurangi rontok dan sering juga beberapa kali juga gelnya aku pakaikan langsung ke wajah.


alan efendi bangun desa kelahiran dengan lidah buaya
doc. Eddy EW 

Budidaya Lidah Buaya Menjadi Panganan


Lainnya halnya nih, di daerah kabupaten Gunungkidul, tepatnya di desa Katongan disana ternyata banyak sekali penduduk yang menanam lidah buaya di halaman rumah mereka. Tetapi jenis berbeda dengan yang aku tanam. Lidah buaya lebih besar yang ditanam berjenis Aloe Chinensis Baker dan barbadensis Miller. Dua jenis lidah buaya ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan makanan, minuman, dan bahan kosmetik. Alan membeli bibitnya dari daerah Sidoarjo, Jawa Timur.


Yang kita tahu Pesona Gunungkidul memang tiada habisnya menyuguhkan kekayaan alamnya yang indah. Daerah ini pamor akan wisata alam pantainya, tak heran Gunungkidul dijuluki sebagai “Kota 1001 Pantai”. Tidak hanya itu, destinasi khas yang mengusung tema kemegahan goa juga mudah dijumpai di Gunungkidul. Namun destinasi wisata pantai, goa, alam yang indah ini hanya mudah dijumpai di jantung Gunungkidul dan pesisir Selatan saja.


alan efendi bangun desa kelahiran dengan lidah buaya
doc, Alan Efhendi



Dan ini lah sosok inspiratif yang memulai budidaya lidah buaya yaitu Alan Efhendi, seorang pemuda dari dusun Jeruklegi, Desa Katongan, Kecamatan Nglipar, kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, adalah sosok inspiratif yang telah berperan aktif dalam sektor pertanian, khususnya dalam budidaya dan pengolahan aloe vera (lidah buaya). Dulunya merupakan seorang perantau di Jakarta. Sekitar 2014 kemudian balik ke kampung halamannya. Keinginan untuk kembali dan memajukan desanya dengan potensi yang dimiliki.

Meskipun awalnya tidak memiliki pengetahuan dasar tentang pertanian, Dia memulai mencari referensi dan panduan bertani dari buku, internet, dan berinteraksi dengan banyak orang untuk memahami cara terbaik dalam mengembangkan komunitas pertanian di Gunung Kidul, mengingat kondisi lingkungannya yang kering.

Saat masih di Jakarta Alan mencari referensi mengenai lidah buaya. Ternyata ada potensi besar dan ini yang membuatnya semakin tertarik. Kemudian Alan membeli bibit lidah buaya  dan ditanamnya di kebun depan rumahnya. “Sebagian bibit yang saya beli tidak tumbuh, karena cuaca di Gunungkidul terlalu ekstrem terutama ketika kemarau panjang”.


Seiring waktu, Alan menemukan formula bagaimana supaya lidah buaya ini bisa tumbuh maksimal di Gunungkidul yaitu dengan media tanam pot atau polybag. Lidah buaya bagus di cuaca yang panas tapi tidak tahan ketika kekurangan air. Jadi jalan keluarnya harus ditanam di dalam pot. Lidah buaya ini cukup disiram dua hari sekali saja. Sejak bibit ditanam butuh waktu antara 10 sampai 12 bulan. Setelah itu mereka akan tumbuh terus.


Kemudian saat panen tiba Alan mengolah lidah buaya menjadi beberapa produk kuliner. Yaitu minuman yaitu minuman Rasane Vera Tekstur lidah buaya yang kenyal dipadukan dengan biji selasih dan gula batu membuat Rasane Vera dapat diterima baik oleh pasar. Ada juga kemasan Aloe nata, yang ternyata setelah diperkenalkan banyak sekali peminatnya. Hampir 300 cup aloe nata habis dipesan, oleh para pedagang dan konsumen langsung.


Selain itu, lidah buaya juga dijadikan aneka kudapan seperti permen, keripik, dodol, kembang goyang dan lainnya. Produk-produk tadi dapat ditemui di pusat oleh-oleh yang tersebar di D.I Yogyakarta dan Jawa Tengah daerah khusus petani lidah buaya. Dan semuanya ini Alan belajar dari internet.


alan efendi bangun desa kelahiran dengan lidah buaya
doc, Alan Efhendi


Sampai sekarang lahan untuk lidah buaya milik Alan dan warga sekitar sudah mencapai tiga hektar lebih. Yang awalnya hanya Alan dan keluarga kemudian masyarakat sekitar juga turut bergabung bersama Alan menanam lidah buaya. Dan membentuk kelompok atau paguyuban Mount dengan anggota sekitar 100 orang, Kini usaha budidaya lidah buaya mampu mengantongi omzet penjualan hingga tembus Rp 30 juta setiap bulannya.


Tapi pengolahan khususnya makanan dan minuman sempat terkendala karena produk yang dihasilkan tidak mampu bertahan lama. Sebagai contoh, minuman kemasan lidah buaya hanya bertahan paling lama dua hari. Kondisi ini sangat merugikan karena barang harus laku kalau tidak ingin merugi.


alan efendi bangun desa kelahiran dengan lidah buaya
doc, Alan Efhendi


Setelah melakukan inovasi dan pengembangan olahan lidah buaya agar tidak cepat basi tidak lepas dari penelitian yang dilakukan LIPI di Gunungkidul. Berkat penelitian yang dilakukan ada teknologi yang memungkinkan olahan bisa bertahan lebih lama. “Sekarang inovasi sudah diajarkan ke masyarakat dan mudah-mudahan bisa memberikan manfaat,”


Untuk pemasaran produk hasil olahan ini sudah dipasarkan ke wilayah Gunungkidul dan Kota Jogja. Tidak hanya itu tanaman lidah buaya ini sangat prospektif dan pada tahun 2018 kebun lidah buaya menjadi daya tarik wisata meski basisnya bukan destinasi wisata alam.


alan efendi bangun desa kelahiran dengan lidah buaya
doc, alan efhendi

Produk-produknya telah mendapatkan sertifikasi dari BPOM dan telah melewati uji klinis. Produk ini juga memiliki potensi ekspor ke pasar internasional, seperti Amerika Serikat, yang dapat memberikan manfaat ekonomi yang signifikan bagi masyarakat Indonesia. Pemerintah daerah dan pusat telah memberikan dukungan yang signifikan kepada Alan Efhendi dalam upayanya untuk mengembangkan pertanian lidah buaya.

alan efendi bangun desa kelahiran dengan lidah buaya
doc, Alan Efhendi


Menjadi Desa Wisata Edukasi karena Lidah Buaya


Seiring berjalannya waktu, budidaya lidah buaya yang digeluti Alan terus berkembang. Desa Katongan pun menjelma menjadi desa wisata dengan minat khusus tanaman lidah buaya. Para pengunjung, pelajar dan wisatawan dapat belajar praktik tanam lidah buaya, panen, hingga proses pembuatan minuman aloevera. Tak hanya itu, mereka juga bisa mencicipi langsung manis dan segarnya minuman aloe vera.


Kalau dibilang memang lokasi wisata edukasi lidah buaya ini tidak strategis berada dalam lingkungan pariwisata. Namun, di tempat ini para wisatawan akan mendapatkan edukasi seluk beluk tanaman lidah buaya hingga menjadikannya komoditas jual yang menjanjikan.


Kesegaran olahan lidah buaya ini cocok dengan kondisi terik Gunungkidul. Minuman instan seperti gelas, dan botol plastik. Selain itu, ada juga produk keripik lidah buaya, dodol, permen, hingga teh yang melengkapi aneka olahan lidah buaya.

Di tempat inilah para wisatawan akan dikenalkan usaha lidah buaya mulai dari hulu hingga hilir, dari proses pembibitan hingga proses pengolahan. Berbagai instansi hilir mudik datang ke desa wisata lidah buaya di Gunungkidul. Tidak jarang, pelajar hingga mahasiswa juga terjun untuk mengenal seluk beluk budidaya aloe vera.

alan efendi bangun desa kelahiran dengan lidah buaya
doc, Alan Efhendi

Tidak berhenti sampai di sana, Alan yang berjiwa bisnis juga akan menjabarkan proses pemasaran olahan lidah buaya hingga menjadi komoditas yang menguntungkan. Selain itu ia juga telah punya agen distributor olahannya mulai dari Jakarta, Surabaya, Bogor, Semarang, dan Solo. Akhirnya sekitar 100 orang ibu-ibu terlibat dalam pengolahan lidah buaya. Mereka tergabung dalam Kelompok Wanita Tani (KWT) Vera Sejati

Cara merawatnya cukup mudah, di saat kemarau, lidah buaya hanya cukup disiram setiap 2 hari sekali. Daya tahan tumbuhan ini memang kuat, bak tanaman kaktus yang mampu bertahan dengan air yang sedikit.

Harga yang ditawarkan untuk edukasi lidah buaya sangatlah murah. Begitu juga dengan olahannya yang nyaman di kantong. Dengan Rp 2 ribu, kita bisa membawa segelas minuman segar. Keripik dijual seharga Rp 10 ribu per bungkus.

Dan juga hampir ada 7 instansi setiap bulannya yang berkunjung untuk mempelajari dan mengunjungi wisata edukasi lidah buaya, dari lokal disini, Jawa Tengah, hingga Jawa Timur.


Dulu kata Alan “Gunung Kidul terhitung tandus dan sulit ditanami tanaman. Tetapi saat ini di desa Katongan penuh dengan pohon lidah buaya tumbuh subur dan menjadi komoditas utama masyarakat setempat. Alan juga berharap adanya lebih banyak kolaborasi antara pemuda-pemudi Indonesia dalam membudidayakan lidah buaya, yang memiliki potensi besar untuk memberikan manfaat ekonomi dan sosial.


Alan Efhendi percaya bahwa pendidikan pertanian yang baik adalah kunci untuk mengubah persepsi masyarakat terhadap profesi ini. Dia berharap anak-anak dari usia dini akan lebih memahami bahwa bertani adalah sesuatu yang layak dan memiliki potensi besar untuk menghasilkan pendapatan yang signifikan. Melalui contoh nyata kesuksesannya, dia berusaha untuk menghilangkan stereotip bahwa pertanian identik dengan kemiskinan.

Tidak heran jika Alan Efhendi mendapat Apresiasi SATU Indonesia Awards di tahun 2021 dari Anugerah Pewarta Astra, Astra Indonesia. Butuh usaha yang gigih untuk mengubah mindset warga untuk menghidupkan tanah yang tandus menjadi lahan subur dan menghasilkan serta menghidupi dan menjadi nilai ekonomis tentunya.


Utieadnu