Sejenak saya akan menceritakan tentang desa kelahiran
kedua orang tua saya, namanya Desa Halimpu dulu ketika saya kecil atau masih duduk di
sekolah Dasar ibu saya sering sekali mengajak liburan ke sana, di Jakarta bapak
bekerja sebagai pegawai negeri pegawai tata usaha di sebuah Sekolah Dasar,
sewaktu liburan dulu, benar-benar seperti layaknya sebuah desa persis seperti
buku pelajaran, sejuk , banyak pepohonan dan sawah yang terbentang, saya masih
merasakan bagaimana menggigilnya mandi setelah sholat shubuh dingin yang luar
biasa, bicarapun masih mengeluarkan asap, seperti layaknya maaaf orang merokok.
Saya masih ingat dulu pernah
diajak mencari lindung dan siput sawah, itu pengalaman yang luar biasa di
Jakarta sama sekali ngga ada, begitu mudanya mencari siput sawah tinggal
menyibakkan sedikit tanaman padi pasti sudah ketemu atau disela-sela pematangan
sawah, setelah terkumpul ikut makan bersama di masak oleh bibi adiknya ibu.
Kadang saya pernah di ajak panen
kacang tanah, milik uwak saya, senanglah karena dari yang kita dapat kita
mendapat upah walaupun upah itu cukup hanya membeli sebuah permen yang bikin
senang lagi dapat makan gratis, ingat waktu makan Cuma dengan ikan asin, goreng tempe, sambal
dan ongseng kacang panjang campur putren (jagung muda) rasanya nikmat banget.
pingir jalan ini dulu sawah yg terbentang luas |
Tapi kini, setelah 25 tahun lewat hawa dingin berubah menjadi
panas persis hawa Jakarta, sawah yang dulu membentang, di bangun perumahan, hmm
anehnya ada beberapa cluster dan residance entah dibangun untuk tujuan apa?, tidak ada lagi kunang-kunang yang biasa
berkelap-kelip di malam hari pemandangan itu dulu sering saya lihat ketika pulang
dari sholat tarawe di mushola balai desa, jarang terdengar suara katak jika
hujan, apalagi jangkrik, mandi pagipun sudah tidak semenggigil dulu. Sedih sih,,
karena ketika saya membawa anak-anak saya ke rumah mbahnya pengalaman sewaktu
saya kecil mereka tidak merasakan lagi.
Akibat dari banyaknya perumahan
dan pohon-pohon yang ditebangi kira-kira jarak 500 meter dari rumah ibuku
mereka merasakan sulitnya air, saat musim kemarau sumur-sumur semuanya kering
hampir 80% masih menggunakan sumur timba, alhasil mereka setiap pagi dan sore mengambil air di sumur mushola yang Alhamdulillah airnya tidak pernah kering karena
mungkin dekat dengan pinggir parit yang sudah diperbaharui, padahal dulu mushola
berada dekat dengan sungai yang besar tapi lama kelamaan sungai itu mengecil
menjadi parit yang lebarnya mungkinr sekita 25 meter kurang. Dulu saya ingat betul pernah berenang di sungai itu bersama teman-teman saya.
.
Saya bukan termasuk orang yang
menolak suatau desa maju tapi jika desa itu kehilangan ciri khasnya duhh
alangkah sayang bagi saya, mereka dulu sangat bahagia dengan kesederhanaan
tidak pernah merasakan sulitnya air, menikmati udara yang benar-benar bersih,
tapi sekarang banyak sekali sawah-sawah
yang dijual kemudian pembeli membangun perumahan-perumahan
tanpa memperdulikan keadaan ekosistem sekitarnya. Hanya berharap saja pada pihak
terkait jika ingin membangun sebuah desa tidak hanya melulu mementingkan pundi-pundi uang dengan membangun cluster atau residence, Apabila tanah itu benar-benar dikelola sebagai persawahan atau ladang pasti akan menghasilkan, dan hendaknya ekosistem
desa tetap di jaga. hingga tidak ada pihak yang dirugikan.
Mungkin sawah yang tersisa bisa dihitung dengan jari termasuk sawah ibu saya yang berada persis pinggir jalan desa sudah banyak
sekali yang menawar untuk dibeli, tapi ibu saya tetap mempertahankannya, bukan
sombong tapi apabila dijual kemudian dijadikan perumahan lalu apa yang tersisa
kenangan bersama bapak saya almarhum?, bagaimana nanti ibu saya akan bercerita
kepada cucu-cucunya tentang bagaimana peluhnya kakek bekerja di Jakarta hanya
sebagai pegawai negari golongan IIA tapi bisa mengumpulkan sedikit demi sedikit
uang untuk membeli sawah, yah... mudah-mudahan sawah itu tetap ada sampai anaknya
saya mempunyai cucu atau cicit. Walaupun tidak luas tapi ciri khas Desa tentang
sawah yang terbentang itu masih ada pada peninggalan kakeknya.
(liburan Januari 2017)
dimana-mana begitu mba... pertambahan penduduk,dan perkembangan zaman..suasana desa tenang ..kini udah berubah...sedikit demi sedikit..dan semua jadi kenangan..
ReplyDeleteJustru disini, di Denmark, desa2 tetap terjaga..gedung2 nggak sembarangan dibangu..karena emang mahalnya nggak ketulungan buat membangun rumah dll..
ReplyDeleteSayangnya disini ya gitu, beberapa kebun & sawah di Ciamis punya nenek di beli orang untuk jalan atau pembangunan rumah.. jadi ngga ada tempat main2 lagi kayak jaman dulu...
ReplyDeleteMain ke sawah merupakan salah satu alasan saya untuk pulang kampung. Walau orang-tua saya nggak punya sawah, tapi tempat usaha bapak memang dekat sawah orang lain. Kalau sawah sekarang pada nggak ada, duh sedih ya. Padahal ini juga yang bikin lingkungan jadi sejuk.
ReplyDeleteWah.., mengingatkan aku akan kampung halamanku mbak, ceritanya hampir sama kayak mba, sekarang banyak sawah2 yang dibangun rumah, sehingga lahan untuk menanam padipun berkurang. Btw, siput sawah bisa dimakan ya mbak? kami nggk dibolehkan makan sipus sawah, tapi biasanya kami makan siput laut.
ReplyDelete